PEPESAN KOSONG GERAKAN “BUMBUNG KOSONG”!
Oleh: Nurani Soyomukti*)
Saya dan beberapa teman ngopi sempat kagum dengan munculnya gerakan “bumbung kosong”.
Kami sempat optimis bahwa demokrasi elektoral Pilkada Trenggalek tahun 2024 akan ramai dengan munculnya gerakan itu.
Ternyata mendekati waktu pemungutan suara yang kurang satu bulan lebih ini, gerakan itu tidak lagi terdengar gemericik riaknya.
Di tempat-tempat ngopi juga semakin tak lagi dibicarakan. Di media sosial juga tak lagi muncul suaranya.
Akhirnya, sementara ini, saya sendiri semakin pesimis bahwa gerakan itu akan memberikan kontribusi bagi dinamika demokrasi di Trenggalek, setidaknya demokrasi (yang hanya) elektoral di Pilkada 2024 ini.
Sebenarnya, gerakan bumbung kosong itu rumit untuk diurai. Dari sisi terminologis, mengajak memilih bumbung kosong sekilas tampak ahistoris.
Tapi yang perlu kita ketahui, ia tak historis. Sebab, memilih bumbung kosong juga akan menghasilkan nilai—nilai dari hitungan perolehan suara setelah pemungutan suara. Dan suara ini akan direkapitulasi mulai tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten.
Rekapitulasi di tingkat kabupaten inilah yang akan menunjukkan sejauh mana kekuatan ajakan memilih bumbung kosong itu punya daya dan pengaruh.
Tapi jika dilihat dari istilahnya, kotak yang tidak terisi pasangan calonn atau “kotak kosong” itu adalah suatu subjek politik hampa.
Kotak kosong itu tak bisa berbuat apa-apa. Tapi dalam kontestasi, peran pasangan calon itu tak berdiri sendiri. Ada tim dan relawan yang memperjuangkannya untuk mengajak masyarakat mencoblosnya.
Demikian juga “kotak kosong” bisa jadi ada yang memperjuangkannya. Tapi jika ia dapat suara, tak akan bisa dikonversi jadi kursi atau posisi sebagai bupati.
Dan karena jumlah kotak kosong melebihi perolehan suara lawannya, maka posisi pimpinan daerah definitif akan kosong.
Dan pemilihan akan diadakan lagi. Biaya penyelenggaraan pemilihan akan dikeluarkan lagi.
Penyelenggara dan stakeholder tingkat daerah maupun desa akan mengeluarkan energi lagi, keluarkan tenaga dan pikiran untuk teknis penyelenggaraan dan energi politik yang dikeluarkan dalam bentuk dukung-mendukung.
Bayangkan, uang Rp 50 miliar untuk penyelenggaraan Pilkada di Trenggalek. Kalau dibuat kegiatan pemberdayaan dan bantuan sosial, berapa banyak orang yang akan bisa disasar. Lumayan!
Rumitnya lagi, sepertinya gerakan mengajak memilih bumbung kosong itu tidak punya cantolan ideologis.
Artinya, tidak seperti pasangan calon yang ada manusianya, mereka mendaftar (lalu ditetapkan sebagai paslon) dengan mengusung visi-misi yang akan diperjuangkan.
Salah satu dokumen pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah adalah dokumen visi-misi dan program yang dilaksanakan.
Visi-misi ini disebarkan ke publik untuk diketahui dan sekaligus bisa jadi bahan diskusi—bisa ditanggapi, termasuk dikritisi, lalu terjadi bahan diskusi.
Sedangkan, untuk mereka yang mengajak memilih bumbung kosong, bisa jadi akan mendapatkan pertanyaan kritis: “Milih bumbung kosong, apa visi-misinya?”
Dan pertanyaan ini harus dijawab. Dan ternyata yang ditanya tidak siap menjawab. Karena ‘legal-standing’-nya tidak ada, memungkinkan nilai perjuangannya berpijak pada apa dan siapanya tidak jelas.
Inilah yang justru menimbulkan “kecurigaan” terhadap gerakan memilih bumbung kosong.
Selain pijakan ideologisnya tidak jelas, tapi cantolan politiknya kurang kuat.
Sebenarnya ia akan kuat jika aktivis gerakan ‘bumbung kosong’ itu terkordinasi dengan baik dan mampu menggalang kekuatan (mengajak orang).
Dia akan menjadi kuat jika merupakan gerakan jangka panjang dan dimulai dengan diskusi strategi-taktik dan program yang komprehensif.
Jika ia memang berniat menjadi gerakan demokratik yang viabilitasnya terjaga, serta dilakukan oleh orang-orang yang punya kapabilitas dan integritas yang kuat.
Jika tidak, setidaknya apa yang menjadi bahan pembicaraan tentang gerakan “bumbung kosong” ini mungkin terjadi.
Di antaranya adalah bahwa ia hanyalah gerakan genit yang bisa ditafsirkan punya motif politik yang bermacam-macam.
Ada yang menafsirkan misalnya karena ada sebagian kelompok kecil orang yang kecewa karena kandidat calon perseorangan yang didukungnya tidak lolos menjadi peserta pemilihan.
Benar atau tidaknya prasangka yang muncul, tentu hal itu bagian dari dinamika politik yang biasa saja. Apalagi jagat politik itu kadang memang lebih banyak opininya daripada pandangan objektifnya.
Apakah gerakan bumbung kosong adalah gerakan demokrasi yang efektif di Trenggalek untuk saat ini? Sekali lagi,efektif tidaknya bisa dilihat dari realitas gerakannya dan kekuatannya.
Ada kotak kosong atau tidak, kalau menurut saya,bukan hambatan untuk menyikapi fenomena politik.
Apalagi dalam pikiran saya sendiri cukup jelas dan tak ada keraguan: Bahwa demokrasi tergantung pada manusianya, bukan pada kotaknya.
Karena kotak dan kertas tidak punya kesadaran. Yang punya pikiran, kesadaran, dan sikap adalah manusia.
Tidak ada yang dikawatirkan dengan adanya kotak kosong yang tertera di surat suara dalam Pemilihan. Dan anda yang seringkali mengikuti pikiran saya juga tahu: Bahkan demokrasi sekalipun tidak tergantung terlalu banyak pada pemilihan.
Sebab saya masih berkeyakinan bahwa demokrasi itu pilar kekuatannya ada pada partisipasi rakyat yang kuat.
Dikatakan kuat jika mereka bersatu, well-organized, di bawah satu visi-misi yang dikawal bersama. Visi-misi yang diturunkan pada level programatik dan sikap politik.
Sebenarnya sejak dulu hingga sekarang, rusaknya demokrasi kita adalah tanpa adanya visi-misi yang dikawal bersama oleh kekuatan rakyat.
Dua hal ini, visi-misi bagus dan kekuatan rakyat yang kuat, yang sebenarnya diharapkan menjadi syarat munculnya perubahan menjadi yang lebih baik.
Upaya menggalang persatuan rakyat sebenarnya adalah taktis politik yang memang harus ada dalam setiap gerakan politik.
Upaya menyatukan kekuatan rakyat ini kosong dari gerakan demokrasi. Selain itu, meskipun telah diupayakan, ternyata juga sulit.
Tidak ada kelompok pelopor yang progresif yang ternyata berhasil secara memuaskan. Dan konsistensi untuk menjaga hal itu memang tidak mudah.
Sebuah kelompok sosial yang ada sangat fragmentatif. Lihatlah kekuatan politik seperti parpol. Di sana selalu ada faksi-faksi.
Lihatlah juga ormas dan komunitas. Mereka juga fragmentatif. Bahkan ormas-ormas dan komunitas anak-anak muda, juga fragmentatif.
Bahkan tak jarang banyak intrik. Eksistensi diri dan komunikasi yang kaku di kalangan aktivisnya juga menjadi gejala.
Apalagi upaya untuk membuat gerakan lintas ormas dan komunitas untuk menyikapi isu tertentu atau niat membangun kekuatan sipil yang kuat.
Seringkali dimentahhkan dengan perasaan di kalangan aktivis dan tokohnya yang narsistik dan merasa paling hebat sendiri, diekspresikan dengan pola-pola komunikasi yang seperti tidak membutuhkan orang lain.
Ekspresi olok-olok dan ejekan, bahkan serangan terhadap mereka yang dianggap tidak sesuai dengan pikiran dan sikap yang dimiliki.
Upaya menyatukan gerakan, yang seharusnya direalisasikan dengan komunikasi persuasif, tidak terjadi.
Belum lagi kalau yang kemudian secara psikologis dibutuhkan hanyalah cap-cap atau citra (branding) untuk kepentingan sempit—misalnya ujung-ujungnya adalah bisnis dan cari duit.
Itu adalah kisah tragis tentang bagaimana gerakan menyatukan kekuatan rakyat dan kaum kritis sebagai kontrol demokrasi terjadi.
Selanjutnya mari kita kembalikan pembicaraan pada fenomena calon tunggal dan kotak kosong. Apakah gerakan ini di Trenggalek akan membuat calon yang nyata ada akan kalah?
Kalau coba mendengar adakah riak-riaknya, tidak kedengaran. Atau karena saya yang berada agak jauh dari sungai. Coba tak selidikinya!!!***
*) Nurani Soyomukti, pendiri INDEK (Institute Demokrasi dan Keberdesaan), pemerhati budaya, sosial, dan politik.